Memahami Teori Relasi Wacana dan Kuasa
dalam Kontestasi Merebut Kebenaran Partai Demokrat
Oleh : Jufriyanto
Akhir-akhir ini semua media elektronik dan media cetak memberitakan kemelud partai demokrat yang terjadi akibat terselenggaranya Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang diselenggarkan pada hari jum’at di The Hill Hotel Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara yang menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum terpilih di acara tersebut. Isu yang menarik untuk dibahas adalah tentang legalitas Kongres Luar Biasa (KLB) yang tidak mendapat restu dari Susilo Bambang Yudoyono (SBY) selaku Ketua Majelis Tinggi yang beliau pimpin di partai demokrat dan tidak sesuai dengan AD/ART yang ada di partai demokrat untuk menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB), sedangkan dari kubu yang menyelenggrakan Kongres Luar Biasa (KLB) menganggap sah dan bisa dipertanggung jawabkan karena juga berdasarkan pada AD/ART yang dibuat di tahun sebelumnya.
Namun isu ini menjadi perhatian publik karena ada wacana yang di glontorkan di berbagai media sosial akan keikutsertaan pemerintah untuk mengambil alih partai demokrat dengan terpilihnya Moeldoko sebagi Ketua Umum terpilih di acara tersebut, mengingat Moeldoko masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan diperiode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Wacana ini sudah dipahami oleh banyak orang telah tereduksi dan terdogma dalam sertiap pemikiran yang membacanya, bahwa generalisasi konseptual percakapan dalam setiap moralitas dan konteks komunikasi di media elektronik dan media cetak telah menyita waktu beberapa media untuk memberitakan sesuatu yang terfokus pada kepentingan integritas dan leglitas partai. Padahal ada banyak kasus atau problematika bangsa yang lebih penting untuk di informasikan ke halayak umum agar ada makna tersirat yang harus dipahami dan di sadari oleh gerasi selanjutnya.
Perlu diketahui, setiap wacana yang diisukan diranah publik bukan serta merta sekedar proposisi makna, melainkan produktifitas kekuasaan dibalik proses penyebarannya. Sehingga antara wacana dan kekuasaan memiliki hubungan yang sangat erat, dengan artian setiap pemikiran dan proposisi yang kita nyatakan secara implied meaning merupakan suatu wacana yang sudah di reproduksi serta ditanamkan dalam diri kita. Sehingga perlu dipahami bahwa wacana tidak hanya sekumpulan pernyataan yang berbeda dalam ungkapan ataupun proposisi dalam pembincangan sehari-hari, melainkan pernyataan (enouncement) yang memiliki intensitas kuat dengan relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan wacana.
Wacana memang sering diberdayakan dalam retorika politik karena politik selalu membahas tentang kekuasaan dan legislasi, sehingga contoh diatas adalah bentuk pernyatan subjektif yang merujuk pada kelompok dan individu tertentu yang ingin berkuasa melalu wacana tersebut. Foucault menempatkan wacana sebagai praktik sosial dalam relasi kuasa, membongkar sejarah, formasi pemikiran, standarisasi, konvensi, dll. tanpa terjebak dalam substansi, keterpusatan dan klaim otoritatif.
Wacana bekerja tidak sendirian, ada banyak unsur ideologis yang di jalankan sehinga ia menyebar secara tidak sadar melalui aparat ideologis, misalnya beberapa berita di media yang memberitakan kasus internal partai demokrat menjadi isu nasional sehingga hadir secara masif di berbagai media yang kita ikuti. Ingat..!!! Derrida mengungkapkan teori logika kehadiran dan tidak hadiran. Yang kita baca selama ini hanya logika kehadiran yang menyatakan ada “Agensi” tentang ukuran kepantasan bagi mereka untuk ditampilkan, bukan sebaliknya. Itu adalah realitas manipulatif yang membuat kita tergiring pada opini subjektif dalam wacana tersebut, Sehingga yang awalnya seluruh media fokus akan pemberitaan COVID-19 yang sedang melanda bangsa, mejadi fokus terhadap wacana subjektif dari personal partai dan penguasa yang kuran efektif untuk dibahas.
Setiap wacana yang di viralakan memiliki unsur subjektifitas yang kuat dari yang membuat wacana tersebut. Ada banyak ribuan contoh wacana yang di glontorkan oleh individu, kelompok ataupun penguasa yang secara subjektif menjadikan wacana teesebut sebagai isu nasional. Padahal jika mu ditelusuri, itu hanya isu yang ingun menguntungkan salah satu pihak yang dengan sengaja membuatnya. Mari kita sadari bahwa wacana itu tidak netral dan selalu memiliki untus ideologis dan kepentingan. Maka kita harus berpikir secara general tentang segala sesuatu yang telah disebar luaskan di berbagai media dan sengaja diberitakan berulang-ulang dalam kehidupan kita, semua itu tidak merujuk pada kebenaran yang paling objektif atau kebenaran sesuai fakta, melainkan kebenaran yang sesuai dengan pihak yang memiliki kepentingan. Dan dengan relasi kuasa, pihak yang memiliki kepentingan akan bekerja sama untuk mewujudkan dalam praktek sosial. Karena dengan relasi kuasa merupakan kunci akan sosok yang mewakili kebenaran tersebut.