Jika kita membaca filsafat Barat, dimulai dari filsafat
Yunani, pandangan mereka tentang manusia biasanya tidak dimulai dari asal-usul
kehadiran manusia, tetapi difokuskan pada hakikat manusia itu sendiri. Hal ini
berbeda dengan Islam, di mana mereka langsung berbicara tentang apa itu hakikat
manusia. Sebagian besar filsuf Yunani berpendapat bahwa manusia terdiri dari
dua unsur, yaitu unsur jasadi dan unsur jiwa (jasad dan ruh). Mereka
menggunakan istilah-istilah tersebut dalam pandangan mereka.
Namun, ada perbedaan pendapat di antara mereka. Ada yang
berpendapat bahwa manusia adalah perpaduan antara jasad dan jiwa, ada yang
berpendapat bahwa manusia hanya terdiri dari jasad, dan ada yang berpendapat bahwa
manusia adalah perpaduan jiwa dan jasad, tetapi yang menjadi substansinya
adalah jiwa. Salah satu filsuf Yunani yang menitikberatkan pada substansi
manusia adalah jiwa. Socrates, salah satu filsuf Yunani, mengatakan bahwa
substansi manusia adalah jiwa yang berpikir. Oleh karena itu, ketika ia ingin
menjelaskan tentang substansi manusia, ia pergi ke pasar dengan membawa obor
dan mengatakan bahwa di pasar tidak ada manusia. Orang-orang di pasar
menganggapnya gila. Socrates mengungkapkan bahwa dia ingin menjelaskan bahwa
manusia sejati adalah sosok yang menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran,
sementara orang-orang di pasar menggunakan akal mereka untuk mencari keuntungan
materi. Jadi, menurut Socrates, substansi manusia adalah jiwa yang menggunakan
akalnya untuk berpikir dan mencari kebenaran. Pendapat ini kemudian dilanjutkan
oleh muridnya, yaitu Plato.
Pendapat ini sejalan dengan pemikiran bahwa substansi
manusia adalah jiwa atau akal. Ini dimulai sejak munculnya pemikiran khusus
Yunani, seperti yang dilakukan oleh Socrates. Ia mengatakan bahwa manusia
sejati adalah sosok yang menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran. Kemudian
ada cerita tentang tiga orang yang terperangkap dalam sebuah gua. Mereka
berpikir bahwa gua itu adalah kenyataan, dan keterbatasan ruang di dalam gua
dianggap sebagai hal yang normal. Namun, ketika salah satu dari mereka keluar
dari gua dan melihat cahaya matahari di luar, dia mulai tercerahkan dan
menyadari bahwa sebenarnya ada dunia di luar sana yang lebih luas. Tokoh ini dikenal
sebagai tokoh yang memiliki pemikiran yang lebih tinggi atau tokoh idealis.
Mereka meletakkan manusia sebagai makhluk yang berfikir dan mencari kebenaran.
Namun, dalam sejarahnya, terjadi perubahan paradigma ketika agama Kristen yang
diwakili oleh Gereja mulai mendominasi. Agama Kristen menempatkan kebenaran di
dalam gereja, dan siapa pun yang berbeda dengan gereja dianggap salah. Hal ini
menyebabkan nilai-nilai ketuhanan dan kebenaran agama Kristen membuat orang
tidak diperbolehkan berpikir berbeda dengan yang ditawarkan oleh gereja. Ini
dikenal dengan istilah "masa kegelapan". Namun, pada masa Galileo
Galilei dan René Descartes, terjadi pemberontakan terhadap dominasi gereja, dan
mereka mulai menggunakan akal secara maksimal, bukan hanya untuk mencari
kebenaran, tetapi juga sebagai pemberontakan terhadap gereja atau dominasi
gereja di Eropa. Galileo Galilei dan Descartes melakukan pemberontakan dalam
bentuk penggunaan akal untuk mencari kebenaran dan melakukan penolakan terhadap
pengaruh gereja. Mereka dianggap sebagai bapak filsafat Barat modern karena
mereka mampu melakukan pemberontakan terhadap dominasi gereja dan menawarkan
gagasan filsafat baru yang dikenal sebagai "rasionalisme".
Namun, seiring berjalannya waktu, pandangan Barat yang
sangat rasional ini tercetak pada rasionalisme. Ini menghasilkan perbedaan
antara rasionalisme dan spiritualisme. Jadi, perbedaan antara filsafat Barat
dengan pandangan Islam adalah bahwa filsafat Barat lebih cenderung pada
rasionalisme, sedangkan pandangan Islam lebih inklusif. Rasionalisme cenderung
mengabaikan aspek spiritual, sementara dalam Islam, aspek spiritual dan
ketuhanan adalah bagian yang penting dalam pemahaman tentang manusia.
Selanjutnya, terjadi sekularisasi dalam dunia Barat, yaitu
pemisahan antara urusan Tuhan dan urusan manusia. Urusan Tuhan ada di dalam
gereja, sementara urusan manusia ada di dunia lahiriah. Hal ini mengakibatkan
manusia tidak hanya menggunakan akal untuk mencari kebenaran, tetapi juga untuk
mencari kekuatan melalui teknologi. Mereka mulai menguasai alam, memanipulasi
alam demi kekuasaan duniawi. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi,
manusia menjadi teralienasi dan mengalami krisis. Manusia menciptakan
teknologi, tetapi pada akhirnya manusia itu menjadi korban dari teknologi itu
sendiri. Hal ini menyebabkan alienasi manusia dalam budaya Barat.
Menurut Nietzsche, manusia modern adalah manusia yang
memiliki kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa ini mencakup
kekuasaan politik, kekuasaan ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Namun, menurut
Nietzsche, jika karakter manusia terpusat pada kekuasaan, baik itu kekuasaan
politik maupun ilmu pengetahuan, maka manusia modern akan mengalami krisis.
Krisis yang paling berbahaya menurutnya adalah nihilisme, yang mengatakan bahwa
nilai-nilai dan kebenaran awal, baik itu agama maupun nilai-nilai peradaban,
mulai runtuh. Namun, manusia modern belum memiliki pegangan yang kuat untuk
menggantikan nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, Nietzsche mengkritik gereja
yang masih bertahan dan menyatakan "kematian Tuhan". Pencopotan
nilai-nilai agama dan nilai-nilai Barat universal yang telah lama berlaku
membuat manusia modern menghadapi krisis yang akut.
Menurut saya, pandangan Islam dan Alquran tentang manusia
dapat menjadi solusi untuk mengatasi tantangan ateisme yang muncul dari
pemikiran tersebut. Namun, tidak hanya untuk membendung radikalisme atau
fundamentalisme Islam, tetapi juga untuk menghadapi efek negatif dari
westernisasi yang telah menghasilkan inflasi nilai-nilai tentang manusia.
Pandangan Alquran tentang manusia adalah bahwa manusia adalah makhluk Fitrah,
yaitu makhluk yang memiliki fitrah atau naluri untuk beragama. Saat manusia
dilahirkan, ia memiliki fitrah yang suci, yakni keyakinan pada Tuhan. Dalam
tradisi Islam, saat bayi berada dalam rahim ibunya, Tuhan bertanya,
"Bukankah Aku Tuhanmu?" dan bayi itu menjawab, "Ya, sesungguhnya
Engkau adalah Tuhanku." Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki sifat
bertuhan atau beragama.
Dalam sejarahnya, dimensi jasadi manusia cenderung menuju
sifat negatif, terutama dalam lingkungan non-religius saat ini. Namun, Tuhan
mengajarkan manusia untuk membersihkan sifat negatif tersebut melalui berbagai
bentuk ibadah, seperti istighfar, beribadah kepada Tuhan, berpuasa, dan
sebagainya. Puasa Ramadhan, misalnya, adalah salah satu cara untuk membersihkan
sifat negatif yang dilakukan manusia dalam sejarah hidupnya. Setelah itu,
manusia akan kembali kepada fitrahnya, dan munculnya "Khairil Fitri"
(fitrah yang baik). Inilah solusi yang menurut saya dapat ditawarkan oleh Islam
untuk mengatasi ateisme, sekularisme, atau krisis dan nihilisme yang dialami
oleh manusia modern.