Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 22 Juli 2023

Membongkar Kekuasaan Bahasa: Analisis Wacana Norman Fairclough untuk Memahami Ketidaksetaraan Sosial

 Penggunaan bahasa merupakan salah satu aspek paling penting dalam kehidupan manusia. Dalam setiap interaksi sosial, bahasa menjadi media utama untuk menyampaikan gagasan, pandangan, dan pengetahuan. Namun, bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari ternyata memiliki dampak yang lebih dalam daripada sekadar bertukar informasi. Di sinilah pentingnya analisis wacana, dan nama Norman Fairclough menjadi salah satu tokoh sentral dalam kajian ini. Norman Fairclough, seorang profesor linguistik asal Inggris, telah memberikan kontribusi besar dalam analisis wacana kritis. Ia adalah salah satu cendekiawan yang memadukan aspek linguistik dan sosiologis dalam analisis bahasa, khususnya untuk memahami peran bahasa dalam pembentukan kekuasaan dan struktur sosial.

Analisis wacana Norman Fairclough menelusuri cara bahasa digunakan untuk mereproduksi dan mempertahankan ketidaksetaraan sosial. Fairclough memandang bahasa sebagai alat kekuasaan yang digunakan oleh kelompok dominan untuk memperkuat posisinya dan mengendalikan kelompok yang lebih lemah. Dengan memahami dan mengidentifikasi strategi kekuasaan dalam bahasa, analisis wacana Fairclough berusaha membuka mata kita tentang asimetri sosial yang ada dalam masyarakat. Salah satu konsep kunci yang dikembangkan oleh Fairclough adalah "diskursus" atau "diskursif." Diskursus mencakup praktik bahasa yang mencerminkan dan membangun hubungan sosial, ideologi, dan kekuasaan. Dengan menganalisis elemen-elemen seperti leksikon, tata bahasa, gaya, dan struktur naratif dalam teks, Fairclough mampu mengungkap bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk realitas sosial dan menciptakan ketidaksetaraan.

Dalam analisis wacana Norman Fairclough, ada tiga dimensi utama yang menjadi fokusnya:

1. Dimensi Tekstual: Dimensi ini mencakup analisis terhadap teks bahasa secara detail, termasuk pilihan leksikal, sintaksis, dan retorika. Melalui analisis ini, kita dapat memahami bagaimana teks menyampaikan pesan dan bagaimana kekuasaan direproduksi melalui bahasa.

2. Dimensi Diskursif: Pada dimensi ini, Fairclough memeriksa bagaimana bahasa digunakan dalam konteks sosial dan bagaimana teks tersebut berhubungan dengan diskursus yang lebih luas. Ia mengidentifikasi hubungan antara teks individu dengan ideologi, norma, dan kepentingan kelompok yang lebih besar.

3. Dimensi Sosial: Fairclough menyoroti bagaimana bahasa berperan dalam pembentukan struktur sosial dan bagaimana perubahan sosial dapat dipahami melalui analisis wacana. Ia menekankan bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan masyarakat, tetapi juga berperan dalam membentuknya.

Analisis wacana Norman Fairclough telah diaplikasikan dalam berbagai konteks, termasuk media massa, politik, dan pendidikan. Melalui pendekatan kritisnya, analisis wacana ini berfungsi sebagai alat untuk membuka wawasan kita tentang bagaimana bahasa digunakan dalam proses dominasi dan resistensi, sehingga kita dapat memahami dan menghadapi ketidakadilan sosial yang mungkin tersembunyi dalam bahasa. Sehingga, analisis wacana Norman Fairclough memberikan wawasan yang mendalam tentang kekuasaan bahasa dalam membentuk dan mempengaruhi masyarakat. Dengan memahami bagaimana bahasa digunakan dalam berbagai konteks, kita dapat menjadi lebih kritis terhadap penggunaan bahasa dan berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Kamis, 20 Juli 2023

Menelusuri Jejak Idealisme Absolut Hegel Perspektif Realitas dan Perkembangan Manusia

 Idealisme Absolut Hegel merupakan suatu sistem filosofis yang dipaparkan dan dikembangkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf Jerman dari abad ke-19. Di dalam sistem ini, Hegel bertujuan untuk memahami realitas dalam konsep keseluruhan dan menyatukan seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk filsafat, sejarah, politik, agama, dan ilmu pengetahuan, menjadi satu garis besar yang terpadu. Artikel ini akan menguraikan esensi dari Idealisme Absolut Hegel dan dampak filosofi ini terhadap pandangan tentang realitas dan kehidupan.

Georg Wilhelm Friedrich Hegel lahir pada tahun 1770 di Stuttgart, Jerman, dan dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah filsafat Barat. Pengaruh besar dari pemikiran Kant dan Plato membentuk dasar pemikiran Hegel. Sebagai seorang idealis, Hegel meyakini bahwa realitas sejati terletak di balik dunia empiris yang tampak. Ia mencari kebenaran universal yang mendasari dan mengatur realitas fisik dan mental. Titik sentral dalam Idealisme Absolut Hegel adalah konsep dialektika, yaitu metode berpikir yang mencari kebenaran melalui perdebatan dan kontradiksi. Dialektika merupakan proses konflik antara dua pandangan atau pemikiran yang bertentangan, dan dari konflik ini akan muncul sintesis yang lebih tinggi. Hegel berpendapat bahwa sejarah dan realitas dapat dipahami melalui pola dialektis ini.

Hegel juga mengembangkan konsep "Geist" atau "Semangat" yang mengacu pada kesadaran kolektif manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan. Geist adalah kekuatan yang mempengaruhi perkembangan sosial, politik, dan intelektual manusia. Melalui dialektika, Geist berkembang dan mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Konsep penting lain dalam Idealisme Absolut Hegel adalah "Thesis-Antithesis-Synthesis" yang digunakan untuk menggambarkan proses dialektis. Thesis adalah pernyataan atau pandangan tertentu. Antithesis adalah lawan dari thesis, yang menghasilkan konflik atau ketegangan antara keduanya. Namun, dari konflik ini muncul synthesis, yaitu pemahaman yang lebih tinggi yang mengatasi pertentangan antara thesis dan antithesis.

Dampak Idealisme Absolut Hegel cukup luas dalam berbagai bidang, termasuk filsafat, ilmu politik, dan sejarah. Dalam filsafat, Hegel berusaha menyatukan filsafat subyektif Kantian dengan filsafat idealisme absolut Plato, menghasilkan sistem filosofis yang lebih komprehensif dan menyeluruh, yang menawarkan pandangan tentang seluruh realitas. Dalam ilmu politik, Idealisme Absolut Hegel memberikan kontribusi besar pada pemikiran tentang negara dan masyarakat. Hegel menganggap negara sebagai wujud tertinggi dari Geist atau semangat kolektif, dan negara memiliki peran dalam membentuk karakter dan kesadaran individu. Konsep ini membuka jalan bagi pemikiran tentang negara sebagai lembaga moral dan etis yang bertanggung jawab atas kesejahteraan warganya. Dalam sejarah, Hegel mengemukakan pandangan bahwa sejarah adalah perjalanan kesadaran manusia dan perkembangan Geist. Setiap peristiwa sejarah merupakan tahap dalam proses dialektis, yang akhirnya menuju tahap kesadaran yang lebih tinggi.

Meskipun Idealisme Absolut Hegel memiliki pengaruh yang besar dalam sejarah pemikiran, filosofi ini juga mendapat kritik. Beberapa kritikus berpendapat bahwa sistem Hegel terlalu abstrak dan rumit, sehingga sulit dipahami dan diaplikasikan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, warisan Hegel sebagai seorang filsuf dan pemikir besar tetap berlanjut dalam perkembangan pemikiran manusia hingga saat ini. Pemikiran Hegel tentang idealisme absolut, dialektika, dan peran Geist dalam perkembangan manusia telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemahaman tentang realitas dan kehidupan manusia.

Rabu, 19 Juli 2023

Navigasi Krisis Modern: Pandangan Islam tentang Nihilisme dan Sekularisme dalam Hakikat Manusia

Jika kita membaca filsafat Barat, dimulai dari filsafat Yunani, pandangan mereka tentang manusia biasanya tidak dimulai dari asal-usul kehadiran manusia, tetapi difokuskan pada hakikat manusia itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Islam, di mana mereka langsung berbicara tentang apa itu hakikat manusia. Sebagian besar filsuf Yunani berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasadi dan unsur jiwa (jasad dan ruh). Mereka menggunakan istilah-istilah tersebut dalam pandangan mereka.

Namun, ada perbedaan pendapat di antara mereka. Ada yang berpendapat bahwa manusia adalah perpaduan antara jasad dan jiwa, ada yang berpendapat bahwa manusia hanya terdiri dari jasad, dan ada yang berpendapat bahwa manusia adalah perpaduan jiwa dan jasad, tetapi yang menjadi substansinya adalah jiwa. Salah satu filsuf Yunani yang menitikberatkan pada substansi manusia adalah jiwa. Socrates, salah satu filsuf Yunani, mengatakan bahwa substansi manusia adalah jiwa yang berpikir. Oleh karena itu, ketika ia ingin menjelaskan tentang substansi manusia, ia pergi ke pasar dengan membawa obor dan mengatakan bahwa di pasar tidak ada manusia. Orang-orang di pasar menganggapnya gila. Socrates mengungkapkan bahwa dia ingin menjelaskan bahwa manusia sejati adalah sosok yang menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran, sementara orang-orang di pasar menggunakan akal mereka untuk mencari keuntungan materi. Jadi, menurut Socrates, substansi manusia adalah jiwa yang menggunakan akalnya untuk berpikir dan mencari kebenaran. Pendapat ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, yaitu Plato.

Pendapat ini sejalan dengan pemikiran bahwa substansi manusia adalah jiwa atau akal. Ini dimulai sejak munculnya pemikiran khusus Yunani, seperti yang dilakukan oleh Socrates. Ia mengatakan bahwa manusia sejati adalah sosok yang menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran. Kemudian ada cerita tentang tiga orang yang terperangkap dalam sebuah gua. Mereka berpikir bahwa gua itu adalah kenyataan, dan keterbatasan ruang di dalam gua dianggap sebagai hal yang normal. Namun, ketika salah satu dari mereka keluar dari gua dan melihat cahaya matahari di luar, dia mulai tercerahkan dan menyadari bahwa sebenarnya ada dunia di luar sana yang lebih luas. Tokoh ini dikenal sebagai tokoh yang memiliki pemikiran yang lebih tinggi atau tokoh idealis. Mereka meletakkan manusia sebagai makhluk yang berfikir dan mencari kebenaran. Namun, dalam sejarahnya, terjadi perubahan paradigma ketika agama Kristen yang diwakili oleh Gereja mulai mendominasi. Agama Kristen menempatkan kebenaran di dalam gereja, dan siapa pun yang berbeda dengan gereja dianggap salah. Hal ini menyebabkan nilai-nilai ketuhanan dan kebenaran agama Kristen membuat orang tidak diperbolehkan berpikir berbeda dengan yang ditawarkan oleh gereja. Ini dikenal dengan istilah "masa kegelapan". Namun, pada masa Galileo Galilei dan René Descartes, terjadi pemberontakan terhadap dominasi gereja, dan mereka mulai menggunakan akal secara maksimal, bukan hanya untuk mencari kebenaran, tetapi juga sebagai pemberontakan terhadap gereja atau dominasi gereja di Eropa. Galileo Galilei dan Descartes melakukan pemberontakan dalam bentuk penggunaan akal untuk mencari kebenaran dan melakukan penolakan terhadap pengaruh gereja. Mereka dianggap sebagai bapak filsafat Barat modern karena mereka mampu melakukan pemberontakan terhadap dominasi gereja dan menawarkan gagasan filsafat baru yang dikenal sebagai "rasionalisme".

Namun, seiring berjalannya waktu, pandangan Barat yang sangat rasional ini tercetak pada rasionalisme. Ini menghasilkan perbedaan antara rasionalisme dan spiritualisme. Jadi, perbedaan antara filsafat Barat dengan pandangan Islam adalah bahwa filsafat Barat lebih cenderung pada rasionalisme, sedangkan pandangan Islam lebih inklusif. Rasionalisme cenderung mengabaikan aspek spiritual, sementara dalam Islam, aspek spiritual dan ketuhanan adalah bagian yang penting dalam pemahaman tentang manusia.

Selanjutnya, terjadi sekularisasi dalam dunia Barat, yaitu pemisahan antara urusan Tuhan dan urusan manusia. Urusan Tuhan ada di dalam gereja, sementara urusan manusia ada di dunia lahiriah. Hal ini mengakibatkan manusia tidak hanya menggunakan akal untuk mencari kebenaran, tetapi juga untuk mencari kekuatan melalui teknologi. Mereka mulai menguasai alam, memanipulasi alam demi kekuasaan duniawi. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi, manusia menjadi teralienasi dan mengalami krisis. Manusia menciptakan teknologi, tetapi pada akhirnya manusia itu menjadi korban dari teknologi itu sendiri. Hal ini menyebabkan alienasi manusia dalam budaya Barat.

Menurut Nietzsche, manusia modern adalah manusia yang memiliki kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa ini mencakup kekuasaan politik, kekuasaan ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Namun, menurut Nietzsche, jika karakter manusia terpusat pada kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun ilmu pengetahuan, maka manusia modern akan mengalami krisis. Krisis yang paling berbahaya menurutnya adalah nihilisme, yang mengatakan bahwa nilai-nilai dan kebenaran awal, baik itu agama maupun nilai-nilai peradaban, mulai runtuh. Namun, manusia modern belum memiliki pegangan yang kuat untuk menggantikan nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, Nietzsche mengkritik gereja yang masih bertahan dan menyatakan "kematian Tuhan". Pencopotan nilai-nilai agama dan nilai-nilai Barat universal yang telah lama berlaku membuat manusia modern menghadapi krisis yang akut.

Menurut saya, pandangan Islam dan Alquran tentang manusia dapat menjadi solusi untuk mengatasi tantangan ateisme yang muncul dari pemikiran tersebut. Namun, tidak hanya untuk membendung radikalisme atau fundamentalisme Islam, tetapi juga untuk menghadapi efek negatif dari westernisasi yang telah menghasilkan inflasi nilai-nilai tentang manusia. Pandangan Alquran tentang manusia adalah bahwa manusia adalah makhluk Fitrah, yaitu makhluk yang memiliki fitrah atau naluri untuk beragama. Saat manusia dilahirkan, ia memiliki fitrah yang suci, yakni keyakinan pada Tuhan. Dalam tradisi Islam, saat bayi berada dalam rahim ibunya, Tuhan bertanya, "Bukankah Aku Tuhanmu?" dan bayi itu menjawab, "Ya, sesungguhnya Engkau adalah Tuhanku." Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki sifat bertuhan atau beragama.

Dalam sejarahnya, dimensi jasadi manusia cenderung menuju sifat negatif, terutama dalam lingkungan non-religius saat ini. Namun, Tuhan mengajarkan manusia untuk membersihkan sifat negatif tersebut melalui berbagai bentuk ibadah, seperti istighfar, beribadah kepada Tuhan, berpuasa, dan sebagainya. Puasa Ramadhan, misalnya, adalah salah satu cara untuk membersihkan sifat negatif yang dilakukan manusia dalam sejarah hidupnya. Setelah itu, manusia akan kembali kepada fitrahnya, dan munculnya "Khairil Fitri" (fitrah yang baik). Inilah solusi yang menurut saya dapat ditawarkan oleh Islam untuk mengatasi ateisme, sekularisme, atau krisis dan nihilisme yang dialami oleh manusia modern.

Kamis, 08 April 2021

Memahami Teori Relasi Wacana dan Kuasa dalam Kontestasi Merebut Kebenaran Partai Demokrat

 

Memahami Teori Relasi Wacana dan Kuasa

dalam  Kontestasi Merebut Kebenaran Partai Demokrat

Oleh : Jufriyanto

Akhir-akhir ini semua media elektronik dan media cetak memberitakan kemelud  partai demokrat yang terjadi akibat terselenggaranya Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang diselenggarkan pada hari jum’at di The Hill Hotel Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara  yang menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum terpilih di acara tersebut. Isu yang menarik untuk dibahas adalah tentang legalitas Kongres Luar Biasa (KLB) yang tidak mendapat restu dari Susilo Bambang Yudoyono (SBY) selaku Ketua Majelis Tinggi yang beliau pimpin di partai demokrat dan tidak sesuai dengan AD/ART yang ada di partai demokrat untuk menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB), sedangkan dari kubu yang menyelenggrakan Kongres Luar Biasa (KLB) menganggap sah dan bisa dipertanggung jawabkan karena juga berdasarkan pada AD/ART yang dibuat di tahun sebelumnya.

Namun isu ini menjadi perhatian publik karena ada wacana yang di glontorkan di berbagai media sosial akan keikutsertaan pemerintah untuk mengambil alih partai demokrat dengan terpilihnya Moeldoko sebagi Ketua Umum terpilih di acara tersebut, mengingat Moeldoko masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan diperiode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Wacana ini sudah dipahami oleh banyak orang telah tereduksi dan terdogma dalam sertiap pemikiran yang membacanya, bahwa generalisasi konseptual percakapan dalam setiap moralitas dan konteks komunikasi di media elektronik dan media cetak telah  menyita waktu beberapa media untuk memberitakan sesuatu yang terfokus pada kepentingan integritas dan leglitas partai. Padahal ada banyak kasus atau problematika bangsa yang lebih  penting untuk di informasikan ke halayak umum agar ada makna tersirat yang harus dipahami dan di sadari oleh gerasi selanjutnya.

Perlu diketahui, setiap wacana yang diisukan diranah publik  bukan serta merta sekedar proposisi makna, melainkan produktifitas kekuasaan dibalik proses penyebarannya. Sehingga antara wacana dan kekuasaan memiliki hubungan yang sangat erat, dengan artian setiap pemikiran dan proposisi yang kita nyatakan secara implied meaning merupakan suatu wacana yang sudah di reproduksi serta ditanamkan dalam diri kita. Sehingga perlu dipahami bahwa wacana tidak hanya sekumpulan pernyataan yang berbeda dalam ungkapan ataupun  proposisi dalam pembincangan sehari-hari, melainkan pernyataan (enouncement) yang memiliki intensitas kuat dengan relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan wacana.

Wacana memang sering diberdayakan dalam retorika politik karena politik selalu membahas tentang kekuasaan dan legislasi, sehingga contoh diatas adalah bentuk pernyatan subjektif yang merujuk pada kelompok dan individu tertentu yang ingin berkuasa melalu wacana tersebut. Foucault menempatkan wacana sebagai praktik sosial dalam relasi kuasa, membongkar sejarah, formasi pemikiran, standarisasi, konvensi, dll. tanpa terjebak dalam substansi, keterpusatan dan klaim otoritatif.

Wacana bekerja tidak sendirian, ada banyak unsur ideologis yang di jalankan sehinga  ia menyebar secara tidak sadar melalui aparat ideologis, misalnya beberapa berita di media yang memberitakan kasus internal partai demokrat menjadi isu  nasional sehingga  hadir secara masif di berbagai media yang kita ikuti. Ingat..!!! Derrida mengungkapkan teori logika kehadiran dan tidak hadiran. Yang kita baca selama ini hanya logika kehadiran yang menyatakan ada “Agensi” tentang ukuran kepantasan bagi mereka untuk ditampilkan, bukan sebaliknya. Itu adalah realitas manipulatif yang membuat kita tergiring pada opini subjektif dalam wacana tersebut, Sehingga yang awalnya seluruh media fokus akan pemberitaan COVID-19 yang sedang melanda bangsa, mejadi fokus terhadap wacana subjektif dari personal partai dan penguasa yang kuran efektif untuk dibahas.

Setiap wacana yang di viralakan memiliki unsur subjektifitas yang kuat dari yang membuat wacana tersebut. Ada banyak ribuan contoh wacana yang di glontorkan oleh individu, kelompok ataupun penguasa yang secara subjektif menjadikan wacana teesebut sebagai isu nasional. Padahal jika mu ditelusuri, itu hanya isu yang ingun menguntungkan salah satu pihak yang dengan sengaja membuatnya. Mari kita sadari bahwa wacana itu tidak netral dan selalu memiliki untus ideologis dan kepentingan. Maka kita harus berpikir secara general tentang segala sesuatu yang telah disebar luaskan di berbagai media  dan sengaja diberitakan berulang-ulang dalam kehidupan kita,  semua itu tidak merujuk pada kebenaran yang paling objektif atau kebenaran sesuai fakta, melainkan kebenaran yang sesuai dengan pihak yang memiliki kepentingan. Dan dengan relasi kuasa, pihak yang memiliki kepentingan  akan bekerja sama untuk mewujudkan dalam praktek sosial. Karena dengan relasi kuasa merupakan kunci akan sosok yang mewakili kebenaran tersebut.

Minggu, 04 April 2021

Mempertahankan Modernisasi Dan Melepas Moralitas Sekuler Saat Pandemi COVID-19

Mempertahankan Modernisasi Dan Melepas Moralitas Sekuler Saat Pandemi COVID-19

Modernisasi menjadi suatu kata yang sering dituju oleh manusia  di era revolusi 4.0 saat ini. Manusia yang hidup dengan fasilitas kecanggihan teknonlogi  sering mencari legalitas modern dengan tingkah laku yang berlebihan, sehingga mereka tidak secara sadar bahwa dengan tingkah laku yang mereka perbuat  melenceng dari yang dimaksud dengan modernisasi. Jika melihat dari istilah yang dibuat, kata Modern secara bahasa berasal dari kata latin ‘moderna’ yang artinya sekarang , baru, atau masa kini. Jadi, ketika milhat asal kata dari modern dapat dikatakan bahwa sebenarnya manusia senantiasa hidup modern senyampang kekinian masih menjadi kesadarannya.

Ironisnya  yang dianggap modern adalah mereka yang mecontoh dunia barat, baik dari segi penampilan hingga etika tanpa memfilter mana yang baik dan mana yang buruk. Sehingga banyak sekali kasus-kasus atau persoalan social yang disadari atau tidak, manusia di zaman ini seakan-akan bangga dengan kasus-kasus atau persoalan social  yang mereka buat karena ingin melegalkan dirinya sebagai manusia modern.

Aksin Wijaya yang sering saya panggil Mas Aksin (Pendiri UKPK IAIN Jember) menulis pemikiran Prof Faisal Islamil tentang kritik yang beliau tuju kepada barat dan mendefinisikan  ulang istilah modernisasi sesuai dengan ilmu pengetahuan yang beliau peroleh di tingkat local dan internasional salah satunya adalah Departement Of Middle East languages and Cultures, Columbia University, New York dan Institute Of Islamic Studies, McGill University, Montreal, Kanada.

Dalam buku Visi Pluralis-Humanis Islam Faisal Ismail dijelaskan bahwa istilah modernisasi  secara simantik dan wacana lebih berorientasi ke masa depan yang lebih baik, sehingga semua orang yang mempunyai harapan ke arah yang lebih baik memilih modernisasi segala bidang kehidupan: social, budaya, sains dan teknologi. Sedangkan westernisasi sendiri mempunyai pengertian pem-Baratan yaitu mencontoh, mengambil alih mengadaptasi filsafat hidup, pandangan hidup, cara hidup dan nilai-nilai Barat. Sehingga dalam proses westernisasi ini terkandung proses sekularisasi yang memisah cara hidup hal-hal yang duniawi dari hal-hal yang agamawi.

Proses sekuralisasi inilah yang sedang kita jalani dan kita terapkan di dalam kehidupan sebagai wasilah atau jalan untuk memperoleh legalitas formal agar diakui sebagai manusia modern, Padahal itu sangat berbeda dan jauh jika dibndingkan dengan istilah modernisasi yang disebut dalam buku ini. Hal ini terjadi mungkin  karena manusia di era ini lebih dahulu menerima kecanggihan teknologi tanpa memahami akan orientasi hadirnya teknologi tersebut agar difungikan secara maksimal sesuai dengan kadar kemanfaatnnya.

Merebaknya COVID-19 atau yang sering kita dengar dengan nama Virus Corona adalah sebuah refleksi bagi kita agar tidak selelu terbaratkan baik dari segi pergaulan, etika, tradisi dan  beberapa hal yang berkaitan dengan kehidupan social. Memang dengan adanya wabah ini semuanya menutup diri secara fisik dengan harapan bisa terhindar dari ancaman COVID-19.  Tapi disisi lain, ini adalah momentum yang tepat untuk bisa instropeksi / bermuhasabah akan tindakan yang telah kita lakukan akhir-akhir ini telah melebihi orang-orang barat serta  melunturkan etika kita sebagai warga yang hidup di Negara yang penuh dengan etika dan menjunjung tinggi moralitas manusia.

Harus bisa disadari bahwa hadirnya modernisasi bukan untuk mengeneralisir segala kehidupan kita sehingga tidak bisa membedakan antara yang baik dan yang buruk, antara yang benar dan yang hoax, antara  pejuang dan pecundang  serta antara budak dan penguasa. Semua itu jika dibingkai dengan konteks pemikiran orang modern akan lebih baik dan bisa menjadikan diri kita progresif, karena manusia modern adalah orang yang mempunyai sikap independen, kritis dan progeresif serta selalu dibingkai dengan nilai-nilai yang humanis sehigga moralitas sekuler tidak lagi ada dalam diri manusia modern.

Potret sistem pendidikan di Indonesia

 

Gw : " Ibu, buat apa sich kita mempelajari bab ini ?"
Guru : " ohh untuk ngasah otak aja"
Gw : *Cuma bisa tersenyum miris*

Bagi yang pernah atau sedang mengunyah pendidikan, pernah ngak mengalami hal tersebut ? Atau yaa.... setidaknya berfikir " buat apa sih belajar ini dan itu? Gunanya aja gw gak tau. Emang dimasa depan nanti akan gw pakek gitu?" Atau yang sedikit lebih ekstrim seperti " gw mau masuk sistem informasi. Kenapa tesnya pakek ada pelajAran kimia segala ?"

LUCU BANGET NGAK SIH.............?

Menurut gw ni ya, secara sistemik, penyelenggaraan pendidikan di Indonesia sebenarnya sudah cukup baik, terlepas dari PR lama pemerintah tentang kualitas pendidikan di daerah-daerah pelosok negeri ini. Tapi secara moral terdapat kekurangan yang sangat besar dalam penyelenggaraannya. Kali ini gw hanya bisa menyoroti tingkat pendidikan yang pernah gw lalui yaitu, tingkat SD, SMP, SMK dan untuk tingkat universitas gw belum bisa mengomentari karena belum merasakan sistemnya secara utuh.

Terdapat dua poin penting yang menjadi kekurangan sestem pendidikan Indonesia saat ini. Pertama masih rendahnya rasa cinta terhadap Ilmu Pengetahuan yang para pelajar Indonesia miliki. Kedua rasa ingin tau yang memicu mereka untuk mengeksplorasi Ilmu Pengetahuan lebih dalam juga masih rendah. Kenapa bisa begitu ? Penyebabnya adalah verbalisme yang terdapat pada sistem pendidikan kita saat ini.

Pendidikan yang terselenggara di Indonesia lebih mengedepankan hapalan dan bukannya pemahaman, menyukai formulasi bukannya substansi. Lebih mengagungkan prestasi belajar bukan tradisi ilmiah. Hal inilah yang oleh para pakar pendidikan disebut verbalisme dalam pendidikan. Yaitu " Statement of meaning, the student seen like learn but he does not learn" Pernyataan kosong dari makna, kelihatannya siswa belajar mata pelajaran tetapi sebenarnya mereka tidak belajar (witherington & burton, 1986:97).

Hal tersebut menyebabkan para pelajar di Indonesia ini lebih mementingkan nilai dibandingkan ilmu pengetahuan itu sendiri. Jadi, tidak aneh bila saat ini banyak pelajar Indonesia hafal suatu rumus tapi tidak pernah tau apa aplikasinya, mereka juga hafal nama para sastrawan dan karyanya tetapi tidak pernah membaca karya sastra apalagi apa lagi mengapresiasinya. Mereka tahu bagaimana mengkonversi suatu derajat Farenhait Ke derajat Celcius tetapi tidak pernah tau bagaimana cara menggunakan Thermometer. Mereka tau istilah fotosintesis tapi tisak npernah mengamatinya, mereka hafal tanggal-tanggal bersejarah, mereka tahu tentang reboisasi tapi tak pernah sekalipun belajar menanam pohon dan merawatnya. Kalau SDM-nya begitu, bagaimana Indonesia mau maju ?.

Yang bangsa ini butuhkan bukanlah pelajaran- pelajaran pintar. Yaitu pelajar-pelajar yang secar akademis memiliki nialai yang baik. Yang kita butuhkan adalah pelajar-pelajar yang merupakan bibit dari para pembelajar dan para ilmuan Pembelajar......

JALAN MENIKUNG MEMIMPIN UKPK DI ERA PANDEMI

 

Jalan Menikung Memimpin UKPK di Era Pandemi

Oleh : Jufriyanto

Jufriyantojuev@gmail.com

Saudara, dalam menghadapi COVID-19 tentunya memerlukan kejernihan berpikir dan ketenangan bersikap. Tentunya menghadapi sebuah episode ketidakpastian memang tak semudah yang sedang di angan-angankan sebelum pandemi. Tetapi, semua ini akan menjadi mudah apabila seorang pemimpin memberikan inovasi yang bisa menyesuaikan diri  di era pamdemi. Kepemimpinan benar-benar diuji saat ada krisis. Di masa pandemi COVID-19  akan terlihat pemimpin mana yang betul-betul bisa bekerja, atau yang hanya bisa bicara. Dalam kondisi ini, tentu saja ada bahaya yang mengintai. Tapi, yang tak kalah penting, selalu ada peluang-peluang baru yang bisa dimanfaatkan.

Tidak bisa dipungkiri, tahun 2020 adalah tahun krisis. Sejak berdirinya UKPK, UKM ini sudah mengemban amanah morlaitas keilmuan di kampus untuk selalu menyadarkan mahasiswa agar selalu berpikir kritis dan selalu berupaya menjadi mahasiswa yang bisa mengemban amanah Tri Fungsi-nya dengan baik. Peran seorang pemimpin dalam mewujudkan visi dan misi organisasi secara dejure dan defacto akan selelu mengalami tantangan yang berbeda-beda. Dalam situasi dan kompleksitas masalah di dunia keilmuan dan organisasi di kampus, kepemimpinan periode 2019-2020  tiba-tiba diperparah dengan wabah penyakit corona virus. Efek krisisnya segera kita rasakan saat beberapa agenda dan pengkaderan warga yang tidak maksimal dilaksanakan secaratatap muka. Semua nya harus banting setir ditranformasikan secara online.

Dampak di sektor lain segera menyusul. Berbagai perusahaan besar dan instansi yang beroperasi secara global untuk bekerjasama dengan UKPK menghentikan program kerjasamanya jika tidak berbasis COVID-19 dan banyak kegiatan keilmuan yang akan terganggu. Bagi UKPK, krisis sebenarnya sudah berjalan sebelumnya. Turunnya sikap kritis mahasiswa IAIN Jember dan kurangnya minat terhadap dunia membaca, menulis dan meneliti menjadi persoalan yang sangat penting bagi UKPK untuk segera menyadarkan mahasiswa yang hidonis dan pragmatis tersebut. Akibatnya, pertumbuhan budaya keilmuan dikampus stagnan, sehingga prograsifitas kampus yang maju secara kuantitas SDM dan Pembangunan gedung tidak bisa diimbangi oleh kualitas SDMnya.

 

Jalan Menikung 1 : Menajadi Pemimpin Multidemensi di Era Pandemi

Kalau situasi krisis sekarang ini disikapi lagi dengan cara yang sama, maka periode 2019-2020 mungkin kita harus tetap "bersyukur" dengan keadaan stagnansi kultul keilmuan yang sama atau lebih rendah. Kalau cuma bisa mengajak bersyukur, bukan pemimpin namanya. Ini situasi krisis, Ada kesempatan yang bisa kita manfaatkan di sini. Masalahnya, akankah kita memanfaatkannya? Akankah seorang pemimpin mengambil langkah-langkah untuk memanfaatkan situasi krisis ini?. Tentunya bagi kami di UKPK mengambil peluang itu dengan baik, sehingga banyak hal yang kami lakukan saat pandemi. Kerjasama dengan berbagai instansi kami mulai kembali dengan mengadakan forum diskusi dan penelitian yang progresif. Bahkan hipotesis kami, konsistensi forum diskusi yang dilaksanakan secara virtual oleh UKPK melebihi kekonsistenan kampus dalam mengadakan forum diskusi.

‘ala kulli hal.... atas beberapa inovasi yang kami lakukan di UKPK selama pandemi, pertannyaan selanjutnya. Bagaimana dengan para pejabat yang lain di kampus..? apakah sudah melakukan inovasi sistem yang berbasis krisis di masa COVID-19 ? adakah kesamaan antara pemimpin-pemimpin tersebut sehingga kita dapat mengenali dimensi-dimensi yang paling dibutuhkan dalam menghadapi situasi pandemi ?. Jangankan para petinggi di kampus, bahkan pada level Kepemimpinan negara selama setahun belakangan memperlihatkan adanya perubahan corak kepemimpinan yang paling dibutuhkan oleh setiap organisasi, yaitu menguatnya pemimpin-pemimpin yang memiliki kapabilitas multidimensi. Di level negara, kita bisa melihat kemunculan pemimpin dengan kapasitas yang multidimensi seperti pemimpin Jerman, Selandia Baru, China, sampai dengan pemimpin di negara-negara Skandinavia. Demikian juga kepemimpinan pada level organisasi  yang secara umum terlihat menonjol dalam mengelola dan menghadapi masalah yang muncul akibat pandemi. Ada beberpaha tips yang ingin kami sampaikan kepada pembaca dalam menghadapi, terutama kepa pejabat di tingkat ORMAWA untuk menajdi pemimpin multidimensi.

Pertama, yang paling utama adalah kemampuan merencanakan dan melakukan manuver perubahan yang dapat diikuti oleh seluruh individu di dalam organisasi. Mereka adalah pemimpin yang dapat menjelaskan apa rencana yang akan mereka buat, dan apa saja yang harus disiapkan menghadapi setiap perubahan-perubahan yang terjadi sewaktu-waktu. Kemampuan merencanakan memerlukan pengetahuan dan pengalaman yang lengkap tentang bagaimana organisasi dalam sistem bekerja, sehingga ia dapat memastikan bahwa setiap perencanaan dapat diterjemahkan sampai dengan level paling rinci.

Kedua, adalah pemimpin yang mampu berkomunikasi lebih sering dengan hasil yang efektif. Setiap masalah kecil, dalam abnormalitas, dapat menimbulkan efek kejut yang tidak disangka-sangka. Dia bisa membelokkan situasi kepada arah yang paling tidak diinginkan, tetapi juga sekaligus bisa mempercepat rencana yang sudah disusun dapat dijalankan secara efektif. Kemampuan berkomunikasi menjadi vital, dan sistem komunikasi yang dibangun harus mampu memberikan ruang kepada pemimpin-pemimpin tersebut untuk menginformasikan lebih sering dan lebih dini tentang apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Ketiga adalah pemimpin yang berbela rasa tinggi. Pemimpin dengan sifat atau karakteristik berbela rasa tinggi sangat dibutuhkan dalam situasi krisis seperti pandemi yang kita hadapi hari ini. Sebagaimana dinyatakan di atas, perubahan yang terjadi secara drastis memerlukan sensitivitas yang tinggi untuk dapat dikelola dengan baik.

 

Jalan Menikung 2: Lika-Liku dan Luka-Luka Memimpin UKPK

            Teringat dengan sebuah pepatah “Pemimpin itu tidak lahir dari rahim biologis, melainkan ditempa secara ideologis” dengan artian semua manusia berhak akan kepemimpinan yang mereka miliki untuk terus mengasah dan membuat kisah yang bagus dalam memimpin versi mereka masing-masing. Era Pandemi Covid-19 memiliki tantangan tersendiri dalam menghadapi komplesitas keterpaksaan untuk melaksanakan kegitan berbasis Daring (Dalam Jaringan) bukan Luring (Luar Jaringan).

            Di masa pandemi COVID-19 kami mengalami krisi yang menahun dan berkepanjangan hingga akhir kepengurusan. Bahakan kami harus menambah beberapa bulan untuk proses regenerasi kepemimpinan di UKPK. Tidak hanya itu, krisis anggaran yang hanya mengandalkan dana operasional dari kampus harus dimaksimalkan untuk proses peberdayaan warga UKPK yang didominasi dengan krisi moniter dn krisis teknologi. Ketidaksiapan kami menghadapi pandemi mengalami gejala yang sangat fatal, selama beberapa pekan kegiatan dan peroses kaderisasi di UKPK berhenti secara masif. Tidak ada yang dapat kami lakukan, kami hanya bisa terdiam sambil meratapi nasib organisasi yang tidak menentu arahnya. Tapi sebagai seorang pemimpin yang harus siap menghadapi krisis apapun, kami melakukan koordinasi dengan pengurus dan penasehat serta pembina bahkan pendiri untuk segera berbenah.

            Merubah sikap dan pola pikir di era pandemi menjadi modal awal  untuk melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda. Pandemi Covid-19 adalah peluang sekaligus tantangan. Dikatakan peluang karena strategi dan kebijakan  dalam menghadapi sekaligus menangani persoalan menjadi kesempatan membuktikan kompetensi serta kualitas kepemimpinan di tingkat internal dan eksternal organisasi. Tidaklah mudah untuk mencari solusi saat pandemi. Tetapi, tidak mudah bukan berarti tidak akan muncul solusi yang efektif untuk melaksanakan kegiatan di era pandemi. Pada setiap organisasi, baik bisnis maupun birokrasi, bahkan pemimpin pada level negara-bangsa, mereka yang dapat menunjukkan kapasitas tersebut di ruang publik akan memperoleh kesempatan yang lebih besar untuk menjadi pemimpin besar ketika pandemi sudah berangsur-angsur normal seperti yang sekarang sudah mulai kita rasakan.

Perbaikan Akidah Menurut Ibnu Rusyd: Pemikiran yang Relevan Hingga Kini

 Akidah atau keyakinan adalah hal mendasar yang membentuk identitas spiritual dan pandangan hidup seseorang. Dalam sejarah pemikiran Islam, ...