Selasa, 25 Juli 2023

Perbaikan Akidah Menurut Ibnu Rusyd: Pemikiran yang Relevan Hingga Kini

 Akidah atau keyakinan adalah hal mendasar yang membentuk identitas spiritual dan pandangan hidup seseorang. Dalam sejarah pemikiran Islam, banyak tokoh besar yang berkontribusi dalam merumuskan dan memperbaiki akidah. Salah satu tokoh yang terkenal dengan sumbangsihnya adalah Ibnu Rusyd (Averroes), seorang filosof Muslim abad pertengahan. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi pandangan Ibnu Rusyd mengenai perbaikan akidah dan relevansinya hingga saat ini.

Ibnu Rusyd (1126-1198 M) adalah seorang cendekiawan Muslim yang hidup pada masa kejayaan kebudayaan Islam di Andalusia (Spanyol). Ia merupakan seorang ahli dalam berbagai bidang, termasuk filsafat, hukum, kedokteran, matematika, dan astronomi. Karya-karyanya tidak hanya mempengaruhi dunia Muslim, tetapi juga berdampak pada dunia Barat melalui terjemahan dan pengaruhnya pada para pemikir Eropa abad pertengahan.

Ibnu Rusyd meyakini bahwa akal adalah anugerah Allah kepada manusia yang harus digunakan dengan baik untuk memperoleh pemahaman yang benar tentang alam semesta dan ajaran agama. Ia berpendapat bahwa kontradiksi antara akal dan agama sering kali merupakan hasil dari salah penafsiran terhadap ajaran-ajaran agama tersebut. Dalam pandangannya, Allah adalah sumber kebenaran dan kebijaksanaan, sehingga akal yang digunakan dengan benar dapat membantu manusia mencari kebenaran dalam ajaran agama.

Dengan menggunakan pendekatan rasional, Ibnu Rusyd berusaha menyelidiki keyakinan-keyakinan keagamaan untuk memastikan bahwa tidak ada ketidaksesuaian logis dalam pemahaman agama. Ia juga berusaha menjembatani kesenjangan antara filsafat Yunani klasik, terutama Aristoteles, dan ajaran Islam. Bagi Ibnu Rusyd, filsafat dan agama bisa saling melengkapi dan membantu manusia dalam mencapai pemahaman yang lebih mendalam tentang alam semesta dan penciptanya. Namun, walaupun ia menekankan pentingnya akal, Ibnu Rusyd juga tidak menafikan peran wahyu dan ajaran agama dalam menuntun kebenaran. Baginya, akal harus digunakan sebagai sarana untuk memahami dan menafsirkan wahyu, bukan sebagai alat untuk menentang atau menggantikan ajaran agama. Ia berpendapat bahwa akal dan agama saling berkaitan erat dan tidak boleh dipisahkan.

Pandangan harmonisasi antara akal dan agama yang diusung oleh Ibnu Rusyd menjadi sumbangan penting dalam sejarah pemikiran Islam. Ia telah mengilhami banyak pemikir Muslim berikutnya untuk menjalani studi yang mendalam tentang filsafat dan agama, dengan tujuan mencapai pemahaman yang lebih holistik dan ilmiah tentang kebenaran.

Dalam era modern ini, pandangan Ibnu Rusyd tentang akal dan agama tetap relevan dan menarik. Perdebatan mengenai peran akal dan agama dalam berbagai aspek kehidupan masih terus berlanjut. Pendekatan Ibnu Rusyd dapat menjadi landasan bagi dialog konstruktif antara pemikiran rasional dan ajaran agama, sehingga dapat menciptakan pemahaman yang lebih inklusif dan menyeluruh tentang realitas kehidupan manusia.

Salah satu sumbangan utama Ibnu Rusyd adalah upayanya untuk mengintegrasikan filsafat Aristoteles dengan ajaran Islam. Ia percaya bahwa filsafat merupakan instrumen yang berguna untuk memperkuat dan membantu pemahaman akidah. Ibnu Rusyd menyatakan bahwa kebenaran tidak akan pernah bertentangan, apakah itu berasal dari nalar atau wahyu Ilahi. Dalam karyanya "Tahafut al-Tahafut" (The Incoherence of the Incoherence), Ibnu Rusyd merespon pandangan Al-Ghazali tentang filsafat dan menegaskan pentingnya filsafat dalam memahami ajaran agama secara mendalam. Ia berpendapat bahwa kritik Al-Ghazali terhadap filsafat tidak tepat karena bisa menghambat perkembangan pemikiran keagamaan.

Ibnu Rusyd sangat menekankan pentingnya peran akal individu dalam mencapai pemahaman agama yang benar. Bagi Ibnu Rusyd, akal merupakan alat yang diberikan Allah kepada setiap individu untuk merenung, berpikir, dan mencari kebenaran. Oleh karena itu, setiap pemeluk agama diharapkan untuk menggunakan akal mereka secara aktif dalam proses memahami akidah dan keyakinan keagamaan. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, keyakinan yang hanya diterima tanpa melalui proses pemikiran dan penelitian rasional tidak memiliki nilai yang mendalam. Ia percaya bahwa keimanan yang berdasarkan pemahaman yang baik akan lebih kokoh dan kuat dalam menghadapi tantangan dan keraguan. Oleh karena itu, para pemeluk agama tidak boleh membatasi diri untuk menerima keyakinan tanpa adanya upaya berpikir kritis dan penelaahan.

Ibnu Rusyd juga memandang bahwa berpikir dan merenung secara mandiri akan membantu seseorang untuk memahami agama dengan lebih baik dan lebih pribadi. Dalam hal ini, setiap individu memiliki tanggung jawab untuk memperoleh pemahaman akidah yang sesuai dengan kepercayaan dan keyakinan pribadi mereka. Meskipun berpegang pada ajaran agama, proses ini juga memberikan ruang bagi perkembangan intelektual dan rohaniah individu. Pendekatan Ibnu Rusyd ini menegaskan bahwa Islam tidak mengajarkan fanatisme buta, tetapi mendorong para penganutnya untuk menjadi pemikir yang cerdas dan berakal. Menggunakan akal untuk memahami ajaran agama dan melibatkan diri dalam refleksi spiritual adalah jalan menuju pemahaman akidah yang lebih dalam dan bermakna.

Pesan Ibnu Rusyd tentang peran akal individu dalam mencapai pemahaman agama yang benar tetap relevan. Di era informasi saat ini, di mana banyak pandangan dan teori dapat dengan mudah diakses, keterlibatan aktif akal dalam memahami agama menjadi semakin penting untuk membedakan antara ajaran yang sesuai dengan prinsip-prinsip agama dan pandangan yang keliru atau menyesatkan. Namun, Ibnu Rusyd juga menyadari bahwa pemahaman akidah yang benar juga memerlukan pemahaman yang mendalam tentang ajaran agama, sejarahnya, dan konteksnya. Oleh karena itu, selain menggunakan akal secara mandiri, para pemeluk agama juga diharapkan untuk belajar dari para cendekiawan agama, ulama, dan sumber-sumber keagamaan yang terpercaya. Dalam mengamalkan pandangan Ibnu Rusyd tentang pentingnya akal dalam memahami agama, kita dapat mencapai pemahaman akidah yang lebih kokoh, pribadi, dan sejalan dengan prinsip-prinsip kebenaran. Hal ini akan membantu kita dalam menghadapi perubahan zaman dan tantangan kehidupan dengan pemahaman agama yang lebih matang dan bijaksana.

Dengan demikian, Ibnu Rusyd adalah salah satu tokoh penting dalam sejarah pemikiran Islam yang berusaha memperbaiki akidah melalui pendekatan filosofis dan harmonisasi antara agama dan filsafat. Pemikirannya tetap relevan hingga kini, mengajarkan bahwa akal dan agama dapat bersatu dalam mencari kebenaran. Perbaikan akidah yang didasarkan pada pemikiran rasional ini dapat membantu umat Islam memahami agama dengan lebih baik dalam menghadapi berbagai isu kontemporer yang kompleks.

Sabtu, 22 Juli 2023

Perjumpaan Filsafat Politik Timur dan Barat: Komentar Ibnu Rusyd terhadap Pandangan Politik Plato

 Filsafat politik telah menjadi perbincangan dan sumber inspirasi bagi banyak pemikir selama berabad-abad. Salah satu filsuf politik yang telah memberikan dampak signifikan adalah Plato, seorang filsuf Yunani kuno. Plato adalah murid Socrates dan guru Aristoteles yang terkenal, dan dia dikenal karena berkontribusi dalam banyak aspek filsafat, termasuk politik. Namun, dalam sejarah perkembangan pemikiran manusia, filsafat politik tidak hanya dibatasi pada wilayah Yunani. Di dunia Islam, ada banyak filsuf Muslim ternama yang juga memberikan pandangan dan komentar tentang filsafat politik, salah satunya adalah Ibnu Rusyd, atau yang dikenal juga dengan nama Averroes.

Ibnu Rusyd (1126-1198 Masehi) adalah seorang Intelektual Muslim abad pertengahan yang hidup di Al-Andalus, wilayah yang saat ini menjadi bagian dari Spanyol dan Portugal. Ia merupakan seorang filosof, ahli hukum, dokter, dan ahli astronomi. Ibnu Rusyd merupakan sosok yang sangat dihormati dan dianggap sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah filsafat Islam.

Plato memandang pemerintahan negara sebagai tanggung jawab kaum filosof, yang menurutnya merupakan orang-orang yang paling bijaksana dan berwawasan luas. Dalam karyanya yang terkenal, "The Republic" atau "Negara," Plato menggambarkan bentuk ideal negara yang dipimpin oleh seorang raja-filusuf atau filosof-raja. Menurutnya, negara yang sempurna harus diatur oleh para filsuf karena hanya mereka yang dapat memahami ide keadilan dan kebenaran mutlak. Plato juga menciptakan konsep "kelas-kelas" dalam masyarakat, yaitu para penguasa, ksatria (pejuang), dan warga biasa. Ia berpendapat bahwa sistem sosial harus dikonstruksi seperti tubuh manusia, di mana setiap bagian memiliki tugas dan fungsi masing-masing untuk mencapai keselarasan dan keadilan dalam masyarakat.

Ibnu Rusyd memperhatikan karya-karya Plato, termasuk "The Republic," dan memberikan komentarnya terhadap pandangan politik Plato. Dalam pandangan Ibnu Rusyd, ada beberapa poin yang memerlukan pemikiran kritis. Pertama, Ibnu Rusyd mencatat bahwa konsep pemerintahan oleh seorang raja-filusuf bisa menjadi sangat problematik dalam kenyataan. Meskipun gagasan ini mungkin ideal di atas kertas, menemukan seorang penguasa yang benar-benar bijaksana dan berkepribadian sempurna adalah hal yang sulit, bahkan hampir mustahil. Oleh karena itu, Ibnu Rusyd lebih memilih untuk memberikan peran aktif pada masyarakat dalam menentukan pemerintahan mereka.

Kedua, Ibnu Rusyd menyoroti kebebasan individu dalam pandangan politiknya. Ia berpendapat bahwa setiap individu memiliki potensi dan kemampuan untuk mencapai pengetahuan dan kebijaksanaan. Oleh karena itu, semua orang harus memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dan memberikan kontribusi pada masyarakat. Ketiga, Ibnu Rusyd juga menekankan pentingnya ilmu pengetahuan dan filsafat dalam membentuk pemerintahan yang bijaksana. Baginya, para pemimpin dan warga negara harus dididik dalam ilmu pengetahuan dan filsafat, sehingga mereka dapat memahami prinsip-prinsip etika dan moral yang diperlukan untuk memimpin dengan keadilan dan bijaksana.

Melalui komentarnya terhadap filsafat politik Plato, Ibnu Rusyd menunjukkan bahwa pemikiran filosofis tidak hanya terbatas pada satu budaya atau tradisi, tetapi dapat berkembang dan beradaptasi dengan berbagai konteks. Meskipun Plato menawarkan pandangan tentang pemerintahan ideal, Ibnu Rusyd menyadari kompleksitas dunia nyata dan menekankan pentingnya kebebasan individu dan pengetahuan dalam membentuk masyarakat yang adil dan bijaksana. Kedua pemikir ini, meskipun hidup dalam era dan budaya yang berbeda, memberikan kontribusi berharga terhadap pemahaman manusia tentang filsafat politik yang relevan hingga saat ini.

Membongkar Kekuasaan Bahasa: Analisis Wacana Norman Fairclough untuk Memahami Ketidaksetaraan Sosial

 Penggunaan bahasa merupakan salah satu aspek paling penting dalam kehidupan manusia. Dalam setiap interaksi sosial, bahasa menjadi media utama untuk menyampaikan gagasan, pandangan, dan pengetahuan. Namun, bagaimana bahasa digunakan dalam komunikasi sehari-hari ternyata memiliki dampak yang lebih dalam daripada sekadar bertukar informasi. Di sinilah pentingnya analisis wacana, dan nama Norman Fairclough menjadi salah satu tokoh sentral dalam kajian ini. Norman Fairclough, seorang profesor linguistik asal Inggris, telah memberikan kontribusi besar dalam analisis wacana kritis. Ia adalah salah satu cendekiawan yang memadukan aspek linguistik dan sosiologis dalam analisis bahasa, khususnya untuk memahami peran bahasa dalam pembentukan kekuasaan dan struktur sosial.

Analisis wacana Norman Fairclough menelusuri cara bahasa digunakan untuk mereproduksi dan mempertahankan ketidaksetaraan sosial. Fairclough memandang bahasa sebagai alat kekuasaan yang digunakan oleh kelompok dominan untuk memperkuat posisinya dan mengendalikan kelompok yang lebih lemah. Dengan memahami dan mengidentifikasi strategi kekuasaan dalam bahasa, analisis wacana Fairclough berusaha membuka mata kita tentang asimetri sosial yang ada dalam masyarakat. Salah satu konsep kunci yang dikembangkan oleh Fairclough adalah "diskursus" atau "diskursif." Diskursus mencakup praktik bahasa yang mencerminkan dan membangun hubungan sosial, ideologi, dan kekuasaan. Dengan menganalisis elemen-elemen seperti leksikon, tata bahasa, gaya, dan struktur naratif dalam teks, Fairclough mampu mengungkap bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk realitas sosial dan menciptakan ketidaksetaraan.

Dalam analisis wacana Norman Fairclough, ada tiga dimensi utama yang menjadi fokusnya:

1. Dimensi Tekstual: Dimensi ini mencakup analisis terhadap teks bahasa secara detail, termasuk pilihan leksikal, sintaksis, dan retorika. Melalui analisis ini, kita dapat memahami bagaimana teks menyampaikan pesan dan bagaimana kekuasaan direproduksi melalui bahasa.

2. Dimensi Diskursif: Pada dimensi ini, Fairclough memeriksa bagaimana bahasa digunakan dalam konteks sosial dan bagaimana teks tersebut berhubungan dengan diskursus yang lebih luas. Ia mengidentifikasi hubungan antara teks individu dengan ideologi, norma, dan kepentingan kelompok yang lebih besar.

3. Dimensi Sosial: Fairclough menyoroti bagaimana bahasa berperan dalam pembentukan struktur sosial dan bagaimana perubahan sosial dapat dipahami melalui analisis wacana. Ia menekankan bahwa bahasa tidak hanya mencerminkan masyarakat, tetapi juga berperan dalam membentuknya.

Analisis wacana Norman Fairclough telah diaplikasikan dalam berbagai konteks, termasuk media massa, politik, dan pendidikan. Melalui pendekatan kritisnya, analisis wacana ini berfungsi sebagai alat untuk membuka wawasan kita tentang bagaimana bahasa digunakan dalam proses dominasi dan resistensi, sehingga kita dapat memahami dan menghadapi ketidakadilan sosial yang mungkin tersembunyi dalam bahasa. Sehingga, analisis wacana Norman Fairclough memberikan wawasan yang mendalam tentang kekuasaan bahasa dalam membentuk dan mempengaruhi masyarakat. Dengan memahami bagaimana bahasa digunakan dalam berbagai konteks, kita dapat menjadi lebih kritis terhadap penggunaan bahasa dan berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan setara.

Kamis, 20 Juli 2023

Menelusuri Jejak Idealisme Absolut Hegel Perspektif Realitas dan Perkembangan Manusia

 Idealisme Absolut Hegel merupakan suatu sistem filosofis yang dipaparkan dan dikembangkan oleh Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf Jerman dari abad ke-19. Di dalam sistem ini, Hegel bertujuan untuk memahami realitas dalam konsep keseluruhan dan menyatukan seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk filsafat, sejarah, politik, agama, dan ilmu pengetahuan, menjadi satu garis besar yang terpadu. Artikel ini akan menguraikan esensi dari Idealisme Absolut Hegel dan dampak filosofi ini terhadap pandangan tentang realitas dan kehidupan.

Georg Wilhelm Friedrich Hegel lahir pada tahun 1770 di Stuttgart, Jerman, dan dianggap sebagai salah satu tokoh penting dalam sejarah filsafat Barat. Pengaruh besar dari pemikiran Kant dan Plato membentuk dasar pemikiran Hegel. Sebagai seorang idealis, Hegel meyakini bahwa realitas sejati terletak di balik dunia empiris yang tampak. Ia mencari kebenaran universal yang mendasari dan mengatur realitas fisik dan mental. Titik sentral dalam Idealisme Absolut Hegel adalah konsep dialektika, yaitu metode berpikir yang mencari kebenaran melalui perdebatan dan kontradiksi. Dialektika merupakan proses konflik antara dua pandangan atau pemikiran yang bertentangan, dan dari konflik ini akan muncul sintesis yang lebih tinggi. Hegel berpendapat bahwa sejarah dan realitas dapat dipahami melalui pola dialektis ini.

Hegel juga mengembangkan konsep "Geist" atau "Semangat" yang mengacu pada kesadaran kolektif manusia dan kemanusiaan secara keseluruhan. Geist adalah kekuatan yang mempengaruhi perkembangan sosial, politik, dan intelektual manusia. Melalui dialektika, Geist berkembang dan mencapai tingkat kesadaran yang lebih tinggi. Konsep penting lain dalam Idealisme Absolut Hegel adalah "Thesis-Antithesis-Synthesis" yang digunakan untuk menggambarkan proses dialektis. Thesis adalah pernyataan atau pandangan tertentu. Antithesis adalah lawan dari thesis, yang menghasilkan konflik atau ketegangan antara keduanya. Namun, dari konflik ini muncul synthesis, yaitu pemahaman yang lebih tinggi yang mengatasi pertentangan antara thesis dan antithesis.

Dampak Idealisme Absolut Hegel cukup luas dalam berbagai bidang, termasuk filsafat, ilmu politik, dan sejarah. Dalam filsafat, Hegel berusaha menyatukan filsafat subyektif Kantian dengan filsafat idealisme absolut Plato, menghasilkan sistem filosofis yang lebih komprehensif dan menyeluruh, yang menawarkan pandangan tentang seluruh realitas. Dalam ilmu politik, Idealisme Absolut Hegel memberikan kontribusi besar pada pemikiran tentang negara dan masyarakat. Hegel menganggap negara sebagai wujud tertinggi dari Geist atau semangat kolektif, dan negara memiliki peran dalam membentuk karakter dan kesadaran individu. Konsep ini membuka jalan bagi pemikiran tentang negara sebagai lembaga moral dan etis yang bertanggung jawab atas kesejahteraan warganya. Dalam sejarah, Hegel mengemukakan pandangan bahwa sejarah adalah perjalanan kesadaran manusia dan perkembangan Geist. Setiap peristiwa sejarah merupakan tahap dalam proses dialektis, yang akhirnya menuju tahap kesadaran yang lebih tinggi.

Meskipun Idealisme Absolut Hegel memiliki pengaruh yang besar dalam sejarah pemikiran, filosofi ini juga mendapat kritik. Beberapa kritikus berpendapat bahwa sistem Hegel terlalu abstrak dan rumit, sehingga sulit dipahami dan diaplikasikan dalam konteks kehidupan sehari-hari. Meskipun demikian, warisan Hegel sebagai seorang filsuf dan pemikir besar tetap berlanjut dalam perkembangan pemikiran manusia hingga saat ini. Pemikiran Hegel tentang idealisme absolut, dialektika, dan peran Geist dalam perkembangan manusia telah memberikan kontribusi yang signifikan dalam pemahaman tentang realitas dan kehidupan manusia.

Rabu, 19 Juli 2023

Navigasi Krisis Modern: Pandangan Islam tentang Nihilisme dan Sekularisme dalam Hakikat Manusia

Jika kita membaca filsafat Barat, dimulai dari filsafat Yunani, pandangan mereka tentang manusia biasanya tidak dimulai dari asal-usul kehadiran manusia, tetapi difokuskan pada hakikat manusia itu sendiri. Hal ini berbeda dengan Islam, di mana mereka langsung berbicara tentang apa itu hakikat manusia. Sebagian besar filsuf Yunani berpendapat bahwa manusia terdiri dari dua unsur, yaitu unsur jasadi dan unsur jiwa (jasad dan ruh). Mereka menggunakan istilah-istilah tersebut dalam pandangan mereka.

Namun, ada perbedaan pendapat di antara mereka. Ada yang berpendapat bahwa manusia adalah perpaduan antara jasad dan jiwa, ada yang berpendapat bahwa manusia hanya terdiri dari jasad, dan ada yang berpendapat bahwa manusia adalah perpaduan jiwa dan jasad, tetapi yang menjadi substansinya adalah jiwa. Salah satu filsuf Yunani yang menitikberatkan pada substansi manusia adalah jiwa. Socrates, salah satu filsuf Yunani, mengatakan bahwa substansi manusia adalah jiwa yang berpikir. Oleh karena itu, ketika ia ingin menjelaskan tentang substansi manusia, ia pergi ke pasar dengan membawa obor dan mengatakan bahwa di pasar tidak ada manusia. Orang-orang di pasar menganggapnya gila. Socrates mengungkapkan bahwa dia ingin menjelaskan bahwa manusia sejati adalah sosok yang menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran, sementara orang-orang di pasar menggunakan akal mereka untuk mencari keuntungan materi. Jadi, menurut Socrates, substansi manusia adalah jiwa yang menggunakan akalnya untuk berpikir dan mencari kebenaran. Pendapat ini kemudian dilanjutkan oleh muridnya, yaitu Plato.

Pendapat ini sejalan dengan pemikiran bahwa substansi manusia adalah jiwa atau akal. Ini dimulai sejak munculnya pemikiran khusus Yunani, seperti yang dilakukan oleh Socrates. Ia mengatakan bahwa manusia sejati adalah sosok yang menggunakan akalnya untuk mencari kebenaran. Kemudian ada cerita tentang tiga orang yang terperangkap dalam sebuah gua. Mereka berpikir bahwa gua itu adalah kenyataan, dan keterbatasan ruang di dalam gua dianggap sebagai hal yang normal. Namun, ketika salah satu dari mereka keluar dari gua dan melihat cahaya matahari di luar, dia mulai tercerahkan dan menyadari bahwa sebenarnya ada dunia di luar sana yang lebih luas. Tokoh ini dikenal sebagai tokoh yang memiliki pemikiran yang lebih tinggi atau tokoh idealis. Mereka meletakkan manusia sebagai makhluk yang berfikir dan mencari kebenaran. Namun, dalam sejarahnya, terjadi perubahan paradigma ketika agama Kristen yang diwakili oleh Gereja mulai mendominasi. Agama Kristen menempatkan kebenaran di dalam gereja, dan siapa pun yang berbeda dengan gereja dianggap salah. Hal ini menyebabkan nilai-nilai ketuhanan dan kebenaran agama Kristen membuat orang tidak diperbolehkan berpikir berbeda dengan yang ditawarkan oleh gereja. Ini dikenal dengan istilah "masa kegelapan". Namun, pada masa Galileo Galilei dan René Descartes, terjadi pemberontakan terhadap dominasi gereja, dan mereka mulai menggunakan akal secara maksimal, bukan hanya untuk mencari kebenaran, tetapi juga sebagai pemberontakan terhadap gereja atau dominasi gereja di Eropa. Galileo Galilei dan Descartes melakukan pemberontakan dalam bentuk penggunaan akal untuk mencari kebenaran dan melakukan penolakan terhadap pengaruh gereja. Mereka dianggap sebagai bapak filsafat Barat modern karena mereka mampu melakukan pemberontakan terhadap dominasi gereja dan menawarkan gagasan filsafat baru yang dikenal sebagai "rasionalisme".

Namun, seiring berjalannya waktu, pandangan Barat yang sangat rasional ini tercetak pada rasionalisme. Ini menghasilkan perbedaan antara rasionalisme dan spiritualisme. Jadi, perbedaan antara filsafat Barat dengan pandangan Islam adalah bahwa filsafat Barat lebih cenderung pada rasionalisme, sedangkan pandangan Islam lebih inklusif. Rasionalisme cenderung mengabaikan aspek spiritual, sementara dalam Islam, aspek spiritual dan ketuhanan adalah bagian yang penting dalam pemahaman tentang manusia.

Selanjutnya, terjadi sekularisasi dalam dunia Barat, yaitu pemisahan antara urusan Tuhan dan urusan manusia. Urusan Tuhan ada di dalam gereja, sementara urusan manusia ada di dunia lahiriah. Hal ini mengakibatkan manusia tidak hanya menggunakan akal untuk mencari kebenaran, tetapi juga untuk mencari kekuatan melalui teknologi. Mereka mulai menguasai alam, memanipulasi alam demi kekuasaan duniawi. Namun, dengan semakin berkembangnya teknologi, manusia menjadi teralienasi dan mengalami krisis. Manusia menciptakan teknologi, tetapi pada akhirnya manusia itu menjadi korban dari teknologi itu sendiri. Hal ini menyebabkan alienasi manusia dalam budaya Barat.

Menurut Nietzsche, manusia modern adalah manusia yang memiliki kehendak untuk berkuasa. Kehendak untuk berkuasa ini mencakup kekuasaan politik, kekuasaan ilmu pengetahuan, dan lain-lain. Namun, menurut Nietzsche, jika karakter manusia terpusat pada kekuasaan, baik itu kekuasaan politik maupun ilmu pengetahuan, maka manusia modern akan mengalami krisis. Krisis yang paling berbahaya menurutnya adalah nihilisme, yang mengatakan bahwa nilai-nilai dan kebenaran awal, baik itu agama maupun nilai-nilai peradaban, mulai runtuh. Namun, manusia modern belum memiliki pegangan yang kuat untuk menggantikan nilai-nilai tersebut. Oleh karena itu, Nietzsche mengkritik gereja yang masih bertahan dan menyatakan "kematian Tuhan". Pencopotan nilai-nilai agama dan nilai-nilai Barat universal yang telah lama berlaku membuat manusia modern menghadapi krisis yang akut.

Menurut saya, pandangan Islam dan Alquran tentang manusia dapat menjadi solusi untuk mengatasi tantangan ateisme yang muncul dari pemikiran tersebut. Namun, tidak hanya untuk membendung radikalisme atau fundamentalisme Islam, tetapi juga untuk menghadapi efek negatif dari westernisasi yang telah menghasilkan inflasi nilai-nilai tentang manusia. Pandangan Alquran tentang manusia adalah bahwa manusia adalah makhluk Fitrah, yaitu makhluk yang memiliki fitrah atau naluri untuk beragama. Saat manusia dilahirkan, ia memiliki fitrah yang suci, yakni keyakinan pada Tuhan. Dalam tradisi Islam, saat bayi berada dalam rahim ibunya, Tuhan bertanya, "Bukankah Aku Tuhanmu?" dan bayi itu menjawab, "Ya, sesungguhnya Engkau adalah Tuhanku." Ini menunjukkan bahwa manusia memiliki sifat bertuhan atau beragama.

Dalam sejarahnya, dimensi jasadi manusia cenderung menuju sifat negatif, terutama dalam lingkungan non-religius saat ini. Namun, Tuhan mengajarkan manusia untuk membersihkan sifat negatif tersebut melalui berbagai bentuk ibadah, seperti istighfar, beribadah kepada Tuhan, berpuasa, dan sebagainya. Puasa Ramadhan, misalnya, adalah salah satu cara untuk membersihkan sifat negatif yang dilakukan manusia dalam sejarah hidupnya. Setelah itu, manusia akan kembali kepada fitrahnya, dan munculnya "Khairil Fitri" (fitrah yang baik). Inilah solusi yang menurut saya dapat ditawarkan oleh Islam untuk mengatasi ateisme, sekularisme, atau krisis dan nihilisme yang dialami oleh manusia modern.

Kamis, 08 April 2021

Memahami Teori Relasi Wacana dan Kuasa dalam Kontestasi Merebut Kebenaran Partai Demokrat

 

Memahami Teori Relasi Wacana dan Kuasa

dalam  Kontestasi Merebut Kebenaran Partai Demokrat

Oleh : Jufriyanto

Akhir-akhir ini semua media elektronik dan media cetak memberitakan kemelud  partai demokrat yang terjadi akibat terselenggaranya Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat yang diselenggarkan pada hari jum’at di The Hill Hotel Sibolangit, Deli Serdang Sumatera Utara  yang menetapkan Moeldoko sebagai Ketua Umum terpilih di acara tersebut. Isu yang menarik untuk dibahas adalah tentang legalitas Kongres Luar Biasa (KLB) yang tidak mendapat restu dari Susilo Bambang Yudoyono (SBY) selaku Ketua Majelis Tinggi yang beliau pimpin di partai demokrat dan tidak sesuai dengan AD/ART yang ada di partai demokrat untuk menyelenggarakan Kongres Luar Biasa (KLB), sedangkan dari kubu yang menyelenggrakan Kongres Luar Biasa (KLB) menganggap sah dan bisa dipertanggung jawabkan karena juga berdasarkan pada AD/ART yang dibuat di tahun sebelumnya.

Namun isu ini menjadi perhatian publik karena ada wacana yang di glontorkan di berbagai media sosial akan keikutsertaan pemerintah untuk mengambil alih partai demokrat dengan terpilihnya Moeldoko sebagi Ketua Umum terpilih di acara tersebut, mengingat Moeldoko masih menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan diperiode kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Wacana ini sudah dipahami oleh banyak orang telah tereduksi dan terdogma dalam sertiap pemikiran yang membacanya, bahwa generalisasi konseptual percakapan dalam setiap moralitas dan konteks komunikasi di media elektronik dan media cetak telah  menyita waktu beberapa media untuk memberitakan sesuatu yang terfokus pada kepentingan integritas dan leglitas partai. Padahal ada banyak kasus atau problematika bangsa yang lebih  penting untuk di informasikan ke halayak umum agar ada makna tersirat yang harus dipahami dan di sadari oleh gerasi selanjutnya.

Perlu diketahui, setiap wacana yang diisukan diranah publik  bukan serta merta sekedar proposisi makna, melainkan produktifitas kekuasaan dibalik proses penyebarannya. Sehingga antara wacana dan kekuasaan memiliki hubungan yang sangat erat, dengan artian setiap pemikiran dan proposisi yang kita nyatakan secara implied meaning merupakan suatu wacana yang sudah di reproduksi serta ditanamkan dalam diri kita. Sehingga perlu dipahami bahwa wacana tidak hanya sekumpulan pernyataan yang berbeda dalam ungkapan ataupun  proposisi dalam pembincangan sehari-hari, melainkan pernyataan (enouncement) yang memiliki intensitas kuat dengan relasi kuasa dengan pengetahuan yang melahirkan wacana.

Wacana memang sering diberdayakan dalam retorika politik karena politik selalu membahas tentang kekuasaan dan legislasi, sehingga contoh diatas adalah bentuk pernyatan subjektif yang merujuk pada kelompok dan individu tertentu yang ingin berkuasa melalu wacana tersebut. Foucault menempatkan wacana sebagai praktik sosial dalam relasi kuasa, membongkar sejarah, formasi pemikiran, standarisasi, konvensi, dll. tanpa terjebak dalam substansi, keterpusatan dan klaim otoritatif.

Wacana bekerja tidak sendirian, ada banyak unsur ideologis yang di jalankan sehinga  ia menyebar secara tidak sadar melalui aparat ideologis, misalnya beberapa berita di media yang memberitakan kasus internal partai demokrat menjadi isu  nasional sehingga  hadir secara masif di berbagai media yang kita ikuti. Ingat..!!! Derrida mengungkapkan teori logika kehadiran dan tidak hadiran. Yang kita baca selama ini hanya logika kehadiran yang menyatakan ada “Agensi” tentang ukuran kepantasan bagi mereka untuk ditampilkan, bukan sebaliknya. Itu adalah realitas manipulatif yang membuat kita tergiring pada opini subjektif dalam wacana tersebut, Sehingga yang awalnya seluruh media fokus akan pemberitaan COVID-19 yang sedang melanda bangsa, mejadi fokus terhadap wacana subjektif dari personal partai dan penguasa yang kuran efektif untuk dibahas.

Setiap wacana yang di viralakan memiliki unsur subjektifitas yang kuat dari yang membuat wacana tersebut. Ada banyak ribuan contoh wacana yang di glontorkan oleh individu, kelompok ataupun penguasa yang secara subjektif menjadikan wacana teesebut sebagai isu nasional. Padahal jika mu ditelusuri, itu hanya isu yang ingun menguntungkan salah satu pihak yang dengan sengaja membuatnya. Mari kita sadari bahwa wacana itu tidak netral dan selalu memiliki untus ideologis dan kepentingan. Maka kita harus berpikir secara general tentang segala sesuatu yang telah disebar luaskan di berbagai media  dan sengaja diberitakan berulang-ulang dalam kehidupan kita,  semua itu tidak merujuk pada kebenaran yang paling objektif atau kebenaran sesuai fakta, melainkan kebenaran yang sesuai dengan pihak yang memiliki kepentingan. Dan dengan relasi kuasa, pihak yang memiliki kepentingan  akan bekerja sama untuk mewujudkan dalam praktek sosial. Karena dengan relasi kuasa merupakan kunci akan sosok yang mewakili kebenaran tersebut.

Senin, 05 April 2021

LAHIR SUBUH

 Saat adzan subuh berkumandang

Sosokku dilahirkan dari rahim dan keluarga yang sangat awam

Lahir pada tahun reformasi yang menjadi catatan sejarah untuk perbaikan negeri

Diumur yang bertambah ini

Semoga ada kebaikan yang semakin bertambah

Sejak umur 9 tahun selalu berada diperantauan

Hingga tidak pernah merayakan dirumah bersama orang tua

Setiap hari selalu memberi kabar dalam bentuk suara

Tidak seperti keluarga moderen yang bisa bersua lewat WA

Suara yang selalu didengar canda tawa dan nasehat

Semoga beliau berdua selalu dalam lindungan Allah

Dan semoga Allah menyayangi beliau berdua

Sebagaiman beliau berdua menyayangiku di waktu kecil

Doamu selalu mengiringi langkahku

Ridhomu selalu menjadi bekal dalam hidupku

Jember, 27 Maret 2021

Perbaikan Akidah Menurut Ibnu Rusyd: Pemikiran yang Relevan Hingga Kini

 Akidah atau keyakinan adalah hal mendasar yang membentuk identitas spiritual dan pandangan hidup seseorang. Dalam sejarah pemikiran Islam, ...